Tadinya saya mau buat sendiri tulisan tentang Sriwijaya FC, salah satu klub bola dari negeri tercintaku. Dan kebanggan seluruh keluarag ku di sana. Yang aku mesti tinggalkan saat awal2 team ini terbentuk setelah di beli dari Persijatim Solo. Tapi setelah baca tulisan dari detik.com 12-1-2007. Yah..sudahlah cuplik ajalah...walaupun belum minta izin hehehe
Sabtu, 12/01/2008 14:23 WIB
Kolom
Sepakbola Sumsel adalah Sriwijaya FC
Taufik Wijaya - detikSport
Palembang - Dulu Sumatra Selatan pernah memiliki duta sepakbola yang amat harum namanya: Kramayudha Tiga Berlian. Kini Sriwijaya FC adalah simbol baru sepakbola di Bumi Sriwijaya itu. Istri dan dua anak saya berteriak kegirangan ketika Ferry Rotinsulu membuang bola yang mengarah kencang ke sisi kanan gawangnya, yang dilesatkan Vagner Luis. Malam itu, dari jarak ratusan kilometer, mereka meneriakkan nama Ferry di hadapan televisi 21 inci. Kedua anak saya meloncat-loncat, dan menirukan gerakan Ferry saat menyelamatkan gawangnya kali kedua. Malam itu bukan hanya keluarga saya yang berteriak kegirangan. Jutaan keluarga di Sumatra Selatan (Sumsel), sebuah provinsi yang kaya dengan sumber energi, juga merasakan kegembiraan yang sama di hadapan televisi, saat Sriwijaya FC mengandaskan Pelita Jaya, di babak semifinal Copa Dji Sam Soe Indonesia, melawan Pelita Jaya, di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Kakarta, Kamis (10/01/1008) lalu. Dari yang saya hafal, sudah 20 tahun masyarakat Sumsel tidak merasakan kegembiraan ini, semenjak era keemasan Kramayudha Tiga Berlian yang merajai Galatama. Istri saya yang sebelumnya tidak begitu suka sepakbola, turut menikmati pertandingan tersebut. Dia mengorbankan sinetron yang menjadi tontonan wajibnya. Dua anak saya pun dibiarkannya menonton pertandingan itu, meskipun besok paginya mereka agak terlambat pergi ke sekolah. Sama seperti masyarakat Indonesia atau masyarakat dunia lainnya, sebagian besar warga Sumsel merupakan penggila sepakbola. Selama puluhan tahun mereka hanya menjadi penggemar tim-tim mancanegara. Mereka begitu fasih dengan pemain-pemain dari Inggris, Italia, Jerman, Belanda atau Prancis. Tapi, sejak tiga tahun terakhir, ketika Gubernur Sumsel Syahrial Oesman melahirkan Sriwijaya FC, para penggila sepakbola di propinsi ini, terutama anak-anak dan remaja, mulai menghiasi kamar mereka dengan kostum klub tersebut yang dibumbui tanda tangan Ferry Rotinsulu, Zah Rahan, Renato, Toni Sucipto, Kayamba, atau Christian Lenglolo. Bahkan, tidak sedikit menempeli dinding kamar dengan foto mereka saat bertemu para pemain Sriwijaya FC yang sudah menyukai pempek. "Sekarang ini, menurut kami, sepakbola itu adalah Sriwijaya FC dan Syahrial Oesman," kata seorang warga Palembang saat menyaksikan pertandingan Sriwijaya FC melawan PSMS Medan di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, di babak perempat final Copa. Pernyataan itu mungkin berlebihan. Namun, seperti halnya istri saya yang selalu berharap kami memiliki sebuah rumah, tampak seperti mendapatkan sebuah rumah mewah saat menyambut kemenangan Sriwijaya FC tersebut. Ini artinya keberadaan Sriwijaya FC suka atau tidak suka telah memberikan suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagi masyarakat Sumsel. Mereka tidak hanya menyebut David Beckham, Ronaldo, atau Michel Ballack, untuk pemain sepakbola. Mereka tidak malu, bahkan bangga, menyebut nama Ferry Rotinsulu atau Charis Yulianto. Sriwijaya FC telah menjadi simbol kebersamaan bagi sekian juta rakyat Sumsel yang memiliki beragam profesi, etnis, status sosial, maupun kepercayaan. Saat Keith Gumbs Kayamba menjebol gawang tim lawan, orang Sekayu, Komering, Palembang, Ogan, Enim, Ranau, dan Besemah, berteriak kegirangan secara bersamaan. Dengan fakta ini pemerintah Sumsel sebetulnya telah menemukan simbol guna mendorong masyarakatnya untuk mendukung pembangunan yang dijalankan dan direncanakan. Pemanfaatan simbol ini tentu sangat berarti, bila dikaitkan dengan kepentingan publik, bukan semata kepentingan kelompok pemodal. Kita mungkin harus belajar dari Italia, sebuah negara yang hancur-lembur setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia II. Melalui permainan sepakbola, mereka mampu bangkit. Bukan hanya meningkatkan rasa percaya diri bangsa Italia, juga mendorong pembangunan ekonomi. Itu juga terjadi pada negara-negara miskin di Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina. Bahkan, saat ini sepakbola mampu menjadi simbol perubahan bagi bangsa-bangsa di Afrika yang selama dua abad terakhir hidup dalam kemiskinan. Negara-negara yang sebelumnya dilirik sebelah mata, baik dalam ekonomi dan kebudayaan, kini menjadi buah bibir di banyak negara, termasuk di Indonesia, misalnya Liberia, Nigeria, Senegal, atau Pantai Gading. Semua itu lantaran kiprah para pemain sepakbolanya. Jadi, tidaklah heran bila sebagian orang berpendapat, saat ini sepakbola menjadi agama baru yang mampu mempersatukan banyak manusia di muka bumi ini. Padahal, dua abad lalu, misalnya di Inggris, sepakbola menjadi olahraga atau permainan yang sangat dilarang penguasa. Bahkan, ancaman mereka yang bermain sepakbola cukup berat, yakni dihukum mati. Ada beberapa hal yang juga harus diungkapkan dari keberhasilan Sriwijaya FC sejauh ini. Pertama, penilaian bahwa masyarakat Sumsel berwatak keras, suka dengan kekerasan, dan cenderung tidak fair, ternyata tidak terbukti. Sampai saat ini, sporter atau pendukung Sriwijaya FC, dikenal sopan dan tertib. Menang atau kalah, mereka tetap menjaga ketertiban di dalam maupun di luar stadion. Bahkan, mereka pun dengan senang hati membeli tiket, bukan berebut atau mendorong pintu stadion agar dapat menonton secara gratis. Kedua, meskipun menghadapi sedikit kendala keuangan, ternyata dukungan pemerintah maupun masyarakat Sumatra Selatan terhadap Sriwijaya FC, jauh lebih baik dibandingkan nasibnya dengan klub-klub lain di Indonesia. Bahkan, kebetulan atau tidak, empat klub yang masuk ke semi final Copa, merupakan klub yang kondisi keuangannya cukup baik, seperti Persija Jakarta, Persipura, Pelita Jaya, dan Sriwijaya FC. Ketiga, Sriwijaya FC mampu menjadi media komunikasi yang efektif antara penyelenggara negara dengan masyarakat. Mungkin, kita akan sulit menemukan adegan Syahrial Oesman berlari bersama seorang penarik becak yang menjadi sporter sepakbola, sambil memegang sebuah bendera, bila tidak ada Sriwijaya FC. Atau, tampak segan-segan para pejabat negara dengan rakyat berpelukan dan bersalaman seusai Sriwijaya FC meraih kemenangan. Keempat, meskipun belum ada pembuktian dalam sebuah penelitian, keberadaan Sriwijaya FC juga mendorong masyarakat Sumatra Selatan untuk senang berolahraga. Buktinya, sejak Sriwijaya FC memberikan kebanggaan, lapangan futsal tumbuh bak jamur di Sumatra Selatan, sehingga setiap malam ratusan warga Sumatra Selatan bermain sepakbola. Menjadi sehat. Di sisi lain, keinginan orang untuk masuk ke ruang-ruang negatif, yang dapat mendorong bertindak salah, seperti narkoba, menjadi berkurang. Mereka yang keletihan sehabis bermain atau menonton sepakbola tentulah tidak tertarik untuk berpesta narkoba. Dengan fakta ini juga, sangatlah wajar, sepakbola di Sumatra Selatan adalah Sriwijaya FC dan Syahrial Oesman. Dua identitas ini, mampu menempatkan sepakbola menjadi simbol kebersamaan dan pembentuk masyarakat Sumatra Selatan yang lebih baik, yakni sehat dan berbudaya. [*] ==
Keterangan: Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di Palembang. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan sikap/opini tempat institusi penulis bekerja. (tw/a2s)